YAYASAN ULAYAT BENGKULU MENYATAKAN PT ALNO AGRO UTAMA
TIDAK MENJALANKAN KETENTUAN RSPO
DAN MEMINTA PEMERINTAH DAERAH UNTUK MENEGAKAN HUKUM TANPA PANDANG BULU
TIDAK MENJALANKAN KETENTUAN RSPO
DAN MEMINTA PEMERINTAH DAERAH UNTUK MENEGAKAN HUKUM TANPA PANDANG BULU
Areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Bengkulu mencapai 144.297,84 hektare. Seluas 53.399,84 ha diantaranya adalah HGU untuk Perusahaan Sawit Skala Besar, dan milik masyarakat 90.898 ha.
Pembukaan perkebunan sawit skala besar telah mendorong masyarakat Bengkulu untuk ikut beramai-ramai menanam sawit dan mengganti sawah kebun yang dimiliki dengan komoditi sawit.
Invasi perkebunan sawit secara besar-besaran di kabupaten bengkulu utara khususnya di kawasan PLG telah menyebabkan ribuan masyarakat kehilangan akses akan lahan yang mereka miliki sebagai lahan produksi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehingga menyebabkan meningkatnya perambahan didalam kawasan hutan konservasi. ”Pelanggaran hukum” yang dilakukan oleh masyarakat dengan merambah kawasan konservasi, merupakan salah satu bentuk kegagalan pemerintah daerah dalam membuat strategi dalam mendorong ekonomi masyarakat khususnya di sekitar kawasan hutan dan perkebunan. Disisi lain Pemerintah dalam melakukan penegakan hukum (represif) tidak tegas sehingga kondisi ini justru akan membuat citra pemerintah daerah semakin turun dimata masyarakat. Salah satu bentuknya adalah peristiwa pengusiran perambah PLG Seblat 2008. Kondisi ini memang sangat dilematis dimana kepentingan konservasi harus membunuh kepentingan masyarakat akan hidup sehingga menjadi sangat penting untuk melakukan negosiasi bersama antara para pihak dalam menciptakan pembangunan dengan mengedepankan konservasi.
Di satu sisi, mayarakat terus tertindas dengan sistem yang ada sementara disisi lain pemerintah memberikan kelonggaran (konspirasi) kepada perusahaan sawit skala besar (Perusahaan Modal Asing) dalam melakukan pemanfaat wilayah.
Setidaknya Terdapat lima desa yang berbatasan langsung dengan kawasan PKG Seblat. Mayoritas masyarakat desa-desa tersebut adalah masyarakat asli suku Pekal yaitu di Desa Suka Maju, Desa Suka Merindu, dan Desa Suka Baru. Selain ketiga desa tersebut, terdapat dua desa dengan mayoritas penduduk pendatang dari suku Jawa yang juga berbatasan dengan kawasan PKG Seblat yaitu Desa Satuan Pemukiman V dan Desa Satuan Pemukiman VII.
MOU BKSDA dan PT ALNO untuk pembangunan jalan poros ini, adalah bukti nyata konspirasi dan keberpihakan pemerintah kepada pengusaha (pemilik modal) asing. Ironisnya, masyarakat petani menjadi pihak yang tersingkirkan dan dicabut haknya.
PT ALNO merupakan anak perusahaan Anglo Eatearn, sebuah grup perusahaan multinasional di bidang perkebunan yang sahamnya dimiliki oleh pengusaha Inggris. Anglo Eastearn ini adalah salah satu anggota RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Sebagai anggota RSPO, Anglo Eastern harusnya menerapkan manajemen yang lestari, dan bebas dari masalah-masalah sosial dan konservasi.
Konspirasi yang dilakukan Anglo Eastern (PT ALNO) dengan BKSDA yang memotong areal konservasi gajah untuk pembangunan jalan poros. Disamping itu berdasarkan pemetaan dari tim tehnis penataan ruang propinsi bengkulu PT alno agro utama telah melakukan perambahan di dalam HPT Lebong Kandi seluas 500 ha. Ini merupakan salah satu bukti nyata bahwa PT ALNO (Anglo Eastearn) terbukti sudah melanggar ketentuan RSPO yang telah ditetapkan pada bulan oktober 2007. Dimana dalam prinsip salah satunya memuat: tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati dimana di dalamnya memuat bahwa Status spesies-spesies langka, terancam, atau hampir punah dan habitat dengan nilai konservasi tinggi, jika ada di dalam perkebunan atau yang dapat terkena dampak oleh manajemen kebun dan pabrik harus diidentifikasi dan konservasinya harus diperhatikan dalam rencana dan operasi manajamen.
Disamping itu keberadaan jalan poros yang milik PT Alno yang membelah kawasan PLG sepanjang ± 8km pada saat ini harus diakui telah banyak memberikan dampak negative daripada dampak positif yang di timbulkannya, antara lain:
1. Dengan adanya jalan poros PT Alno ini justru telah meningkatkan perambahan di sekitar kawasan hutan (HPT Lebong Kandis) yang dilakukan oleh masyarakat pendatang maupun masyarakat local.
2. Meningkatnya konflik manusia dan gajah hal ini disebabkan habitat gajah di daerah ini yang terganggu dimana daerah ini merupakan kantong gajah terakhir di propinsi Bengkulu.
3. Pemanfaatan jalan poros sebagai pintu masuk (akses) terhadap perburuan satwa langkah di wilayah PLG dan HPT Lebong Kandis.
Berdasarkan kondisi diatas yayasan ulayat Bengkulu mendesak pemerintah daerah dalam hal ini pihak BKSDA dan dinas kehutanan kabupaten Bengkulu Utara untuk meninjau kembali bahkan menutup jalan poros PT Alno Agro utama yang akan berakhir pada akhir tahun ini yang telah memutus koridor habitat gajah di PLG. Yayasan Ulayat Bengkulu berharap agar pemerintah daerah dapat menegakan UU no 41 tahun 1999 tentang kehutanan khususnya tentang pemanfaatan kawasan hutan serta Undang-undang perlindungan satwa liar dan habitanya sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial dikalangan masyarakat.
Informasi lebih lanjut
Hartanto (Yayasan Ulayat Bengkulu)
Email: tanto@ulayat.or.id Hp: 081368244002
0 komentar