“Adakah keberadaan Gajah masih penting di Bumi Rafflesia?”


Keberadaan gajah (Elephas maximus sumatrensis) di Bengkulu, tidaklah sepopuler seperti di propinsi lainnya di Sumatera. Disisi lain, masih banyak masyarakat di Bengkulu yang tidak menyadari dan memandang penting keberadaan mamalia darat terbesar ini.

Di Bengkulu, habitat atau tepatnya kantung terakhir gajah sumatera terbesar berada di PKG (Pusat Konservasi Gajah) Seblat, yang berlokasi di kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara. Kawasan ini merupakan kawasan hutan produksi dengan fungsi khusus seluas 6.865 ha. Permasalahan yang terjadi di PKG sangat bervariasi seperti habitat gajah yang terancam dengan alih fungsi lahan seperti perladangan dan pembukaan kebun sawit, perburuan liar, illegal logging hingga tidak efektifnya birokrasi pengelolaan kawasan yang ada.

Sebagai daerah yang terfragmentasi dengan kawasan konservasi lain, seperti TN Kerinci Seblat (TNKS) sejauh kurang lebih 50 km, yang saat ini koridor hutannya telah terputus, PKG Seblat yang merupakan tempat habitat alami fauna-flora khas dataran rendah Sumatera, saat ini kondisinya sangat mencemaskan. Jumlah populasi gajah liar (diluar gajah terdidik), diperkirakan hanya 90-100 ekor saja. Untuk sebuah kawasan seluas 6000 ha, tentunya kawasan ini tidaklah ideal, mengingat untuk keperluan jelajah pencarian makan, maka seekor gajah memerlukan sedikitnya 400 hektar untuk wilayah geraknya.

Beberapa temuan aktual di lapangan seperti pembukaan poros jalan bagi kepentingan pengangkutan sawit yang memotong kawasan PKG, pemberian ijin bagi pembukaan wilayah pendukung (buffer zone) di sepanjang batas PKG bagi perkebunan besar sawit serta perambahan diluar dan didalam kawasan PKG mencerminkan bahwa sinkronisasi kebijakan masih belum berjalan dengan baik.

Dengan kondisi lapangan saat ini, yang terjadi adalah perebutan wilayah antara manusia dengan satwa liar. Gajah yang keluar dari kawasan kemudian mencari makan dengan merusak perkebunan-perkebunan yang ada. Dengan tingkat konflik lahan yang tinggi, -yang diimbangi semakin rusaknya kualitas kawasan-, beberapa kasus peracunan terhadap gajah masih kerap terjadi. Perburuan liar dengan motif mendapatkan gading yang sangat ekonomis di pasar gelappun ditengarai semakin mempercepat laju kepunahan gajah sumatera dari bumi Rafflesia.

Konflik gajah dengan manusia tentunya tidak akan pernah berhenti apabila segala tindakan dan perencanaan pembangunan serta kebijakan yang dilakukan masih seperti saat ini. Dengan UU otonomi daerah, Pemerintah Daerah (Pemda) berperan lebih besar daripada satu dasawarsa yang lalu. Pengelolaan tata ruang dan kebijakan di daerah lebih lanjut dilakukan melalui pola pendekatan di daerah, yang diasumsikan lebih sesuai dengan konteks budaya (kultur), sehingga capaian kesejahteraan masyarakat akan dapat terumuskan dan tercapai. Namun disisi lain, Pemerintah Pusat masih memiliki kewenangan didalam pengelolaan kawasan konservasi seperti BKSDA. Hal ini saja, membutuhkan sebuah bentuk kerjasama diantara para pihak untuk dapat mengkolaborasikan kerja-kerja efektif di lapangan.

Di sisi lain, masyarakat yang berada di sekitar kawasan, bahkan masyarakat umum di Bengkulu hingga saat ini belum menganggap penting keberadaan gajah sebagai asset berharga provinsi ini. Secara ironis, oleh sebagian pemukim dan peladang, gajah masih dianggap hama yang merusak kebun mereka. Sehingga yang terjadi, keberadaan gajah masih dianggap sebagai agen perusakan, dan diperhadapkan secara frontal (vis a vis) dengan masyarakat. Apakah paradigma ini dapat diubah untuk masa depan? Apakah dapat keberadaan gajah adalah sebagai bagian dari solusi (an sich) yang sudah ada (default factor) dan bukan akar dari masalah yang ada? Bagaimanakah merumuskan hal ini sehingga semua pemangku kepentingan dapat menyepakati hasil yang dibuat?

Kasus gajah PKG merupakan sebuah contoh tentang konflik tenurial yang terjadi. Tidak saja untuk PKG, tetapi kasus-kasus lain yang mirip di tempat lainnya di Bengkulu atau di wilayah lainnya di Indonesia. Diharapkan diskusi ini dapat membuka lembaran baru tentang paradigma pengelolaan kawasan yang melihat suatu masalah secara holistik termasuk memperkenalkan para pihak untuk dapat merumuskan model pengelolaan yang lebih baik di masa depan. Apakah kita bersedia untuk hidup dan berbagi dengan mahluk hidup lain di dalam sebuah ekosistem yang sama dan saling terkait satu sama lainnya?

Rencana Dialog Interaktif
Dialog interaktif ini direncanakan akan diadakan di Bengkulu TV dengan format dialog langsung (live) sehingga diharapkan dapat direspon oleh pemirsa melalui telepon. Dialog akan diadakan pada hari Senin, pukul 22 Juni 2009, pukul 20.00-21.00 (lebih kurang 1 jam)

Pembicara/ narasumber yang akan hadir:
1. Drs. Andi Basrul (Kepada BKSDA Bengkulu), status konfirm
2. Ir Maswandi (Kepala Dinas Kehutanan Bengkulu Utara), status konfirm
3. Radius (ProFauna Bengkulu-LSM pemantau satwa liar), status konfirm

Dialog ini akan dipandu oleh: Drs. Rizwar MS (Dekan MIPA UNIB), yang sekaligus pernah melakukan penelitian gajah di PKG Seblat.

Tema dialog interaktif: ”Adakah keberadaan gajah masih dirasa penting di Bumi Rafflesia?”

Point-point kunci dialog interaktif
1. Bagaimana status gajah di Bengkulu (jumlah dan sebarannya) saat ini? bagaimana trend penurunan populasi dan habitat gajah dari tahun ke tahun?
2. Seperti apa bentuk koordinasi dan peran para pihak (BKSDA, Dishut) untuk pengeloaan kawasan konservasi di daerah?
3. Bagaimana penyelesaian kasus-kasus perambahan, illegal logging dan perburuan liar dilakukan, termasuk bagaimana update kasus dua gajah binaan PKG Seblat (23/03/09) yang mati ditembak oleh pemburu liar?
4. Bagaimana update status jalan poros PT ALNO yang membelah kawasan PKG Seblat yang MoUnya akan berakhir tahun ini, apakah kedepannya akan dilanjutkan?
5. Bagaimana evaluasi pemberian ijin bagi konsesi sawit yang saat ini berbatasan dengan kawasan konservasi (termasuk PKG)? mengingat telah banyak kejadian gajah mati di Riau akibat peracunan ketika gajah masuk wilayah perkebunan sawit?
6. Saat ini kawasan konservasi cenderung terfragmentasi. Bagaimana mengatasi mitigasi konflik manusia dan satwa (termasuk gajah), misalnya perencanaan koneksi (koridor satwa) agar satwa dapat berpindah?
7. Bagaimana rencana peningkatan status kawasan PKG Seblat yang saat ini sebagai wilayah hutan produksi terbatas dengan kawasan khusus menjadi kawasan konservasi?
8. Apa solusi untuk mencegah perburuan liar, perambahan dan illegal logging di kawasan konservasi, khususnya di PKG Seblat? termasuk bagaimana masyarakat (termasuk LSM) dapat berperan, termasuk dalam melakukan pemantaun?


1 Comment

  1. Anonim Said,

    Semoga dengan adanya moment2 seperti ini kepedulian instansi pemerintah dan masyarakat bengkulu akan keberadaa gajah di bengkulu semakin bertambah.

    Save our elephant in bengkulu province

    Posted on 22 Juni 2009 pukul 16.04

     

Film Terbaru

Post Terbaru

      Admin Control Panel

      New Post | Settings | Change Layout | Edit HTML | Moderate Comments | Sign Out

      Tag Cloud

      Dukung