Cerita berikut ini adalah sebuah cerita seorang petani sawit yang saya temui beberapa bulan yang lalu (Desember 2008) yang tinggal di perbatasan Pusat Latihan Gajah (PLG), Seblat, Bengkulu Utara. Saya menginap di pondok beliau selama lima hari. Disebuah podok yang sangat sederhana yang terbuat dari papan-papan bekas dan bambu. Berdirinya pondok inipun sudah tidak lurus lagi alias hampir roboh karena dimakan usia.
Saya mengunjungi keluarga petani sawit ini karena berdasarkan informasi yang saya dapat, hanya beliau inilah yang sampai sekarang masih bertahan di jalan koridor yang membelah kawasan PLG Seblat, Bengkulu Utara. Sebuah jalan yang dibuat oleh perusahaan kelapa sawit (PT Alno) pada tahun 2004 dengan MoU antara PT Alno dan BKSDA Bengkulu yang juga mendapat persetujuan dari pejabat di Manggala Wanabakti.
Seperti yang sudah pernah saya ceritakan di posting sebelumnya tentang status PLG Seblat, yaitu Hutan Produksi dengan fungsi khusus yang secara prinsip pengelolaannya dibawah Dinas Kehutanan. BKSDA Bengkulu sebenarnya tidak punya wewenang dalam pembuatan dan persetujuan MoU yang telah dibuat.
Beberapa bulan sebelum saya datang, disepanjang jalan ini ramai sekali masyarakat yang masuk untuk merambah dan membuat ladang di kawasan PLG Seblat. Sebagian tanaman sawit yang mereka tanam sudah membuahkan hasil. Namun, tak berapa lama setelah itu para perambah ini meninggalkan ladang mereka karena adanya operasi penangkapan oleh Polda Bengkulu terhadap beberapa perambah yang diduga memperjualbelikan tanah kawasan. Hampir seluruh tanaman sawit dan tanaman lainnya yang ada disepanjang jalan poros inipun sudah habis dimakan dan dinjak-injak gajah liar.
Nah, dari latar belakang beberapa permasalahan yang terjadi di PLG Seblat ini. Saya mencoba mencari informasi kenapa masyarakat tersebut merambah dan membuka lahan di kawasan PLG Seblat dan mengapa mereka cenderung ingin menanam kelapa sawit di ladang mereka. Informasi ini kami coba gali untuk melanjutkan sebuah film dokumenter yang pernah kami buat mengenai ancaman satwa Gajah Sumatera yang terdapat di Bengkulu.
Dari cerita yang saya buat ini silahkan menilai sendiri sebenarnya siapa yang salah. Masyarakat (perambah), Dinas Kehutanan, BKSDA Bengkulu, Pemerintah Daerah, Gajah, atau mungkin Tuhan yang salah??!!
Lahmudin. Itulah namanya. Umur beliau sudah 65 tahun. Tinggal disebuah pondok bersama seorang istrinya Jarinah (50 th). Disaat pertama kali saya datang menemui mereka, mereka merasa takut dan bertanya-tanya. Khawatir mereka akan diusir dari ladang mereka yang sudah mereka tempati dari beberapa tahun yang lalu. Mereka menduga saya dari petugas kehutanan.
Setelah beberapa hari tinggal bersama mereka, Pak Lahmudin baru mau bercerita secara terbuka dan tidak takut lagi terhadap saya. Beliau menceritakan bagaimana kehidupan kerluarganya, latar belakang mereka membuat ladang disini, ketakutan mereka dan harapan mereka terhadap ladang yang sudah mereka buat selama ini.
Pada tahun 2000 karena diajak oleh beberapa teman dan keluarga yang ada di kampung (Dusun Pulau) untuk membuat ladang dihutan, akhirnya Pak Lahmudin ikut membuat ladang. Dulu orang-orang kampung ini membuat ladang jauh dari kampung yaitu disekitar areal PT Maju. Mereka menanam tanaman kopi di ladang mereka. Karena sudah ada akses jalan didaerah PLG Seblat, maka beberapa orang kampung inipun bergerak menuju kawasan PLG Seblat untuk membuat ladang disepanjang jalan poros PT Alno. Sebuah jalan yang memotong kawasan PLG Seblat untuk pengangkutan hasil kelapa sawit ke pabrik. Konon disepanjang jalan ini masih berhutan dan semak belukar yang tidak ada penghuninya. Entah karena mereka tidak tahu kawasan ini adalah kawasan PLG Seblat atau pemerintah daerah serta petugas kehutanan tidak memberi tahu mengenai status kawasan, akhirnya mereka menebang, membersihkan lahan dan menanam disana.
Luas lahan yang digarap oleh Pak Lahmudin dan istrinya sekitar 2,5 ha. Beberapa areal sudah ditanam kelapa sawit, dan sebagiannya lagi ditanam tanaman muda, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Seperti para petani lainnya yang ada di Bengkulu. Pada awal membuka lahan, setelah dibersihkan dan dibakar. Mereka akan menugal padi (menanam padi darat). Humus tanah setelah pembakaran sangat baik untuk tanaman padi. Setelah panen padi barulah mereka menanam tanaman keras.
Saya sempat iseng menanyakan kepada Pak Lahmudin. "Mengapa bapak menanam sawit? Apakah tidak ada tanaman lain selain sawit?". "Pada saat saya membuka ladang ini, perkebunan Alno baru buka. Mereka banyak sekali menanam kelapa sawit. Ketika saya duduk di depan pondok saya, saya melihat aktivitas mereka. Lalu lalang membawa bibit-bibit kelapa sawit. Dari sana saya jadi berfikir. Nanti ketika mereka memanen hasil tanaman sawitnya, saya akan menjadi penonton saja kalo saya tidak ikut menanam sawit. Saya juga harus menanam sawit." Jawab beliau terhadap pertanyaan saya.
"Dulu saya tidak tahu berapa harga buah sawit perkilonya. Yang penting saya ikut menanam saja. Pertama kali panen harganya perkilo klo tidak salah seratus rupiah. Terus naik menjadi 200, naik lagi 300, tahun berikutnya naik 400 rupiah. Baru tahun 2008 ini saya bisa menikmati harganya per kilo sampai 1.400 rupiah" lajutnya.
Disaat melihat aktivitas sehari-hari yang dilakukan Pak Lahmudin, saya menjadi tahu dan bisa merasakan betapa berat menjalani kehidupan disini. Hanya berdua ditempat yang sepi. Disaat malam tiba, daerah ini sangat gelap karena tidak ada penerangan dari lampu-lumpu listrik. Tetanggapun sudah tidak ada karena semua teman-temannya balik ke kampung pasca operasi penangkapan para perambah. Banyak satwa-satwa liar yang ada didalam kawasan, termasuk mamalia terbesar di Indonesia yaitu satwa gajah.
Pernah ditengah malam sekitar jam 10 malam terdengar suara teriakan gajah liar. Nyaring dan membuat hati kecut. Posisinya tidak jauh dari pondok Pak Lahmudin. Dengan sigap Pak Lahmudin bangun mengambil senter dan membawa kentongan lalu berjalan menuju ke ladang sawitnya. Saya yang saat itu penasaran bagaimana caranya mengusir gajah malam-malam, akhirnya ikut beliau. Malam itu sangat-sangat gelap. Tidak ada cahaya apapun ditengah-tengah ladang sawit kecuali cahaya senter kita berdua. Saya berfikir didalam hati, bagaimana caranya mengusir gajah malam-malam gelap gulita begini yang klo mereka berkelompok sangat banyak jumlahnya. Tubuh gajah sangat besar. Klo tiba-tiba ada dibelakang kita dan mereka menubruk atau menginjak kita?. Wassalam sudah. "Gila ini perjuangannya membuat ladang disini. Udah sepi, banyak gajah liar, gelap pula" gumamku didalam hati.
Malam itu Pak Lahmudin memukul-mukul kentongan dan berteriak untuk mengusir gajah agar tidak mendekati ladangnya. Kami berdiri diatas sebuah punggungan di ladang tersebut. Saya sempat kaget dan merinding ketika berjalan menuju punggungan, ada seekor musang yang cukup besar melompat didepan saya. Saya langsung mengarahkan cahaya senter kearah musang tersebut dan akhirnya bisa bernafas lega. Untung musang yang melompat didepan. Klo seandainya harimau sumatera yang datang? Mungkin saya bisa langsung pingsang ditempat.
"Klo gajah ini berkelompok saya masih bisa mengusirnya, karena mereka bersuara. Tapi klo dia datang sendiri, habis sudah tanaman sawit saya. Karena dia datangnya diam dan tidak ada suara" ucapnya kepada saya ditengah malam itu. Saya merasa prihatin sekali dengan beliau. Dimana umur beliau yang sudah tua ini seharusnya sudah bisa duduk santai dirumah, menggendong cucu yang manis dan lucu serta menikmati hari-hari tuanya. Bukan di tengah-tengah ladang sawit yang gelap dan penuh dengan resiko.
WILAYAH ABU-ABU
Mungkin inilah yang disebut dengan wilayah abu-abu. Sebuah lahan atau kawasan yang tidak jelas statusnya. Banyak informasi yang tidak jelas yang diterima oleh Pak Lahmudin dan beberapa masyarakat kampung sekitar mengenai status kawasan yang mereka tempati. Pihak PT Alno mengklaim lahan tersebut adalah lahan perkebunan milik mereka. Sementara pihak PLG sendiri mengklaim lahan tersebut adalah kawasan PLG Seblat. Lahan yang ditempati Pak Lahmudin dan beberapa orang disana posisinya berada di antara Perkebunan Alno dan Kawasan PLG Seblat. Dampak yang jelas terjadi dari ketidakjelasan itu adalah perambahan, jual beli tanah, keributan dan beberapa masyarakat yang dirugikan. Mungkin juga pemerintah daerah yang dirugikan karena harus mengeluarkan anggaran untuk menyelesaikan konflik yang terjadi disana.
Kenapa bisa tidak jelas statusnya?
Sepulang dari lapangan saya mencari tahu apa penyebabnya. Saya menemui beberapa orang di Bengkulu dan bertanya mengenai sejarah lahan tersebut. Dari jawaban yang didapat, ada beberapa informasi mengatakan bahwa wilayah itu memang sengaja dibuat samar-samar. Dulu saat dilakukan pengukuran oleh klo tidak salah Dinas Kimpraswil, ada beberapa oknum yang sengaja membuat wilayah itu menjadi abu-abu atau tidak masuk dalam tata batas. Kemungkinan oknum tersebut ingin mendapatkan lahan tersebut untuk kepentingan pribadi. Ini sebenarnya yang harus dicek dan ditelusuri kebenarnya. Dicari solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah yang berlarut-larut ini.
Bagi Pak Lahmudin lahan itu adalah harta satu-satunya yang ia miliki. Beberapa lahan yang ia miliki didekat kampunya sudah ia berikan kepada anak-anaknya yang sudah berkeluarga. Walau bagaimanapun beliau akan tetap bertahan karena ditempat inilah beliau bisa bertahan hidup dihari tuanya. Besar sekali harapannya terhadap hasil sawit yang ia tanam beberapa tahun yang lalu. Terlebih lagi ketika ditahun 2008 harga tandan sawit per kilo-nya melambung tinggi. Niat untuk menjalankan rukun islam yang kelimapun yaitu naik haji, seakan bisa diwujudkan. Namun, mejelang akhir tahun 2008 harapan itu seakan sirna. Krisis global yang menimpa hampir diseluruh negara didunia ini juga berdampak buruk terhadap seluruh petani sawit yang ada di pelosok-pelosok negeri. Harga sawit terjun bebas seolah tak peduli dengan jeritan para petani. Mereka yang pada tahun itu bermimpi menjadi kaya dan sudah mengkonversi seluruh lahan yang mereka miliki menjadi kebun sawit, hidup seperti tidak punya harapan. Lahan-lahan produktif sudah terlanjur ditanami tanaman kelapa sawit. Bahkan sawah-sawah yang selalu menghasilkan beras beratus-ratus kilo setiap tahunnya diganti dengan tanaman kelapa sawit.
Sama dengan halnya Pak Lahmudin. Kecewa teramat sangat dengan turunnya harga tandan sawit. Ketidakjelasan status lahan. Harga kelapa sawit yang yang tidak menentu, membuat Pak Lahmudin terkadang termenung kosong memikirkan bagaimana harus menghabisi hari-hari tuanya.
"Klo hama gajah, walaupun malam, siang, masih bisa saya menghadapinya. Tapi klo hama PLG (petugas PLG, Polhut-red) yang datang, tidak bisa saya mengatasinya. Itulah hama yang paling sulit diatasi". Saya akan pergi dari sini jika jalan ini ditutup. Pemerintah atau PLG harus adil. Jangan hanya perusahaan saja yang boleh mengakses jalan ini, sementara kita rakyat kecil di usir" keluh beliau kepada saya disaat saya mewawancarainya.
Ditulis oleh Een Irawan Putra
Email : irawanputra@gmail.com
1 Comment
kd 11 shoes
birkin bag
kyrie 5
lebron 13
nfl jerseys wholesale
hermes
cheap nfl jerseys china
coach outlet store
kyrie 3
adidas tubular
Posted on 17 November 2019 pukul 23.51