Untuk kedua kalinya para prajurit itu menangis. Yang pertama ketika para prajurit anggota tim penggiring gajah dari Air Sugihan ke Lebong Hitam di Sumatera Selatan berhasil memindahkan 232 gajah ke tempat barunya, akhir 1982. Mereka menangis lagi ketika diundang ke Istana dan disalami Presiden Soeharto.
”Mengharukan, mereka yang biasa memegang senapan ternyata bisa menangis,” ujar mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengenang.
Kisah bermula dari telepon Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat yang diterima Emil. ”Pak, gerombolan gajah akan ditembak tentara karena akan melintasi perkampungan.”
Sebenarnya memang bukan salah gajahnya. Rombongan gajah yang rutin ke laut untuk memenuhi kebutuhan garam tubuhnya ketika hendak kembali ke hutan jalurnya sudah terpotong permukiman transmigran.
Kaget mendengar kabar tersebut, hari itu juga Emil Salim menghadap Presiden Soeharto. ”Bapak, ada masalah dengan gajah di Air Sugihan,” lapor Emil.
Presiden langsung mengangkat telepon berwarna merah—pesawat untuk menghubungi siapa pun di mana pun—menelepon Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Daerah (Pangkopkamtibda) Try Sutrisno. Ia memerintahkan pembatalan rencana penembakan.
Kepada Emil Salim, Soeharto meminta gajah dipindahkan. ”Wah, bagaimana caranya? Dalam sejarah dunia belum ada proyek pemindahan gajah,” katanya.
Beruntung, di dalam tim yang dinamai Satuan Tugas Operasi Ganesha itu ada Letkol I Gusti Kompyang Manila dan kemudian menjadi komandan penggiringan. Dia mengusulkan agar tim membuat bunyi-bunyian dari berbagai benda dan alat musik untuk menggiring gerombolan gajah. Tim terdiri dari anggota militer dari Kodam IV Sriwijaya, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, dan Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, beberapa transmigran, dan sejumlah tenaga ahli. Total jumlahnya sekitar 400 orang.
Perjalanan sepanjang 70 kilometer itu medannya amat berat. Berupa rawa, hutan, serta sungai yang amat lebar. Belum lagi rombongan gajahnya, yang tiba-tiba tidak mau bergerak sama sekali begitu ada anak-anak gajah yang kelelahan.
Mengikuti proses penggiringan di lapangan, Emil begitu terkesan pada satwa berbadan besar itu. ”Mereka itu berbaris teratur. Yang betina di depan dan di samping rombongan. Di bagian tengah berkumpul semua anak gajah dan di belakang berbaris gajah jantan. Sungguh luar biasa, mereka seperti manusia,” ujar Emil.
IGK Manila di media massa pernah mengatakan, ”Pak Emil sampai 15 kali mengucap kata ’masya Allah’ setiap kali menyaksikan keajaiban perilaku gajah.”
Emil memang mereguk pengalaman luar biasa dalam perjalanan itu. ”Orang berbaris rapat di sekeliling gerombolan gajah liar dan semua tertib berjalan bersama-sama. Sungguh luar biasa,” katanya.
Ketika menyeberangi sungai selebar 60 meter, misalnya, gajah-gajah dewasa berjajar di sungai membentuk jembatan. Lalu anak-anak gajah menyeberang di atas punggung mereka. ”Benar-benar ajaib,” tuturnya.
Tidaklah mengherankan ketika gajah-gajah itu sampai ke tempat tujuan setelah 44 hari berjalan, menjadi momen mengharukan. Bahkan juga bagi para prajurit penggiringnya. ”Semua menangis. Ternyata kita belajar menjadi manusia dari gajah,” kata Emil. (nes/isw)
0 komentar